Linparnews- Romo Franz Magnis-Suseno, SJ, Guru Besar Emeritus di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara menyatakan sepakat dengan rencana Presiden Timor-Leste, Jose Ramos-Horta yang akan mengusulkan dua organisasi Muslim moderat terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, untuk mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian.
Ramos-Horta, adalah peraih Nobel Perdamaian tahun 1996, mengatakan dua organisasi itu layak mendapat pengakuan internasional atas kontribusi mereka dalam mempromosikan toleransi di Indonesia, negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia.
Ia menyampaikan pernyataannya saat mengunjungi kantor pusat NU di Jakarta pada 20 Juli sebagai bagian dari rangkaian agenda kunjungannya selama sepekan di Indonesia.
“Saya juga akan mengusulkan kedua organisasi ini untuk mendapat penghargaan yang sangat bergengsi juga yaitu Zayed Award for Human Fraternity,” tambahnya.
Penghargaan internasional ini diberikan untuk menandai pertemuan bersejarah Paus Fransiskus dan Imam Besar Al-Azhar, Ahmad At-Tayyeb, pada Februari 2019 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Ramos-Horta adalah salah satu anggota dewan juri untuk Zayed Award tahun ini.
Sebagai tanda terima kasihnya kepada Ramos-Horta, Ketua Umum Pengurus Besar NU, Yahya Cholil Staquf mengatakan: “Ini adalah sebuah kehormatan bagi kita semua.”
Merespon usulan itu, Romo Magnis mengatakan dalam wawancara dengan UCA News, “saya mendukung penuh inisiatif dari Presiden Ramos-Horta itu.”
Imam yang sangat aktif dalam dialog antargama itu mengatakan, pada 2019 ia juga sempat menulis sebuah surat kepada komite Nobel Perdamaian di Oslo, Norwegia untuk mendukung penghargaan Nobel untuk kedua organisasi itu.
“Saya berpendapat bahwa dua organisasi itu amat penting dalam menunjukkan bagaimana Indonesia sebagai negara mayoritas Islam di dunia bisa menjadi sebuah negara yang toleran dan menjaga terus mempertahankan Pancasila,” katanya.
Ia mengatakan, dengan konsistensi mereka pada sikap yang toleran itu dan telah melewati berbagai tantangan dalam sejarah Indonesia, termasuk upaya-upaya dari kelompok ekstremis yang terus mengganggu, “itu seharusnya diakui secara internasional.”
“Sulit membayangkan Indonesia bisa bertahan dengan Pancasilanya, tanpa keberadaan NU dan Muhammadiyah,” kata imam kelahiran Jerman itu.
Didirikan pada tahun 1926, NU dikenal luas karena penghormatan dan komitmennya terhadap pluralisme dan pelarangan istilah “kafir” untuk menyebut umat non-Muslim.
NU juga telah memelihara hubungan baik dengan kelompok minoritas, termasuk umat Katolik.
Staquf, yang mulai menjabat tahun lalu, pernah bertemu dengan Paus Fransiskus di Vatikan pada tahun 2020.
Pada 9 Juni, NU juga menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) dengan Komunitas Sant’Egidio, sebuah kelompok awam Katolik berbasis di Italia, untuk mempromosikan perdamaian antaragama dan pelayanan kemanusiaan.
Muhammadiyah, yang didirikan pada tahun 1912 oleh Ahmad Dahlan, seorang ulama Muslim, adalah organisasi Islam tertua di Indonesia yang berdedikasi untuk pendidikan, kesehatan, dan kegiatan sosial.
Organisasi ini mengelola lebih dari 5.000 sekolah dasar dan menengah, serta lebih dari 175 universitas di Indonesia. Organisasi tersebut menekankan perlunya kembali kepada Al-Qur’an dan mencontohi perilaku Nabi Muhammad.
Pada Oktober tahun lalu, Sekretaris Jenderal PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti menjadi salah satu pembicara pada pertemuan tentang agama dan pendidikan di Vatikan, yang juga dihadiri oleh Paus Fransiskus. (ber)