Linparnews- Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo membentuk tim khusus untuk mengusut kasus penembakan Brigadir J di rumah Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo di Jakarta Selatan. Tim dibentuk untuk menjawab keraguan publik atas penanganan kasus itu. Listyo memastikan tim akan bekerja secara profesional.
Tim dipimpin oleh Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono. Kemudian dibantu oleh Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Polri Komjen Agung Budi Maryo, Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto, Kabaintelkam Polri Komjen Ahmad Dofiri dan Asisten Kapolri bidang SDM Irjen Wahyu Widada.
Sejak dibentuk pada Selasa (12/7), tim baru sekali menyampaikan pernyataan publik terkait langkah penyelidikan yang diambil. Hingga kini belum ada perkembangan signifikan yang diungkap tim itu.
Menko Polhukam Mahfud MD menilai langkah Kapolri membentuk tim investigasi sudah tepat. Hal itu telah mewakili sikap dan langkah Pemerintah, sehingga Kemenko Polhukam akan mengawal.
Dalam kasus itu, ia juga berkata penjelasan Polri tak jelas hubungan antara sebab dan akibatnya. Menurutnya, kasus itu juga tidak bisa dibiarkan mengalir begitu saja karena banyak kejanggalan dari proses penanganan.
“Kasus ini memang tak bisa dibiarkan mengalir begitu saja karena banyak kejanggalan yang muncul dari proses penanganan, maupun penjelasan Polri sendiri yang tidak jelas hubungan antara sebab dan akibat setiap rantai peristiwanya,” kata dia, Rabu (13/7).
Kriminolog dari Australian National University Leopold, Sudaryono mengatakan kasus dugaan tindak pidana yang melibatkan pejabat tinggi Polri, seharusnya memang mendapat pengawasan khusus dari Kapolri, untuk mencegah kemungkinan adanya konflik kepentingan.
“Tidak bisa hanya diserahkan ke unit reskrim yang ada di Polres, karena dari segi kepangkatan dan pengaruh jabatan proses penyelidikan dan penyidikan riskan dipengaruhi,” kata Leopold saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (14/7).
Menurutnya, kepercayaan publik terhadap institusi Polri dipertaruhkan jika kasus polisi tembak polisi itu tidak diusut dengan baik.”Kasus seperti ini berpotensi mencoreng kepercayaan publik kepada Polri, oleh sebab itu pimpinan tinggi Polri berkepentingan besar membuka kasus ini dengan baik,” kata dia.
Ia mengatakan tekanan publik dan pelibatan Komnas HAM akan menjadi sarana bagi Kapolri untuk menyelesaikan kasus itu, tanpa kemudian harus berhadapan dengan konflik internal Polri.
“Tanpa Komnas HAM atau tekanan pihak eksternal, Kapolri bisa terpaksa mengikuti tekanan internal untuk menjaga nama baik korps,” ujarnya.
Lebih lanjut, terlepas dari kebenaran peristiwa, ia menilai pelecehan yang diduga dilakukan oleh Brigadir J bukanlah tipe kejahatan oportunistik. Artinya, orang melakukan tindakan itu bukan semata-mata karena ada kesempatan.
Menurutnya, profil pelaku tipe kejahatan oportunistik menunjukkan gejala penyimpangan perilaku yang mestinya terdeteksi sejak awal.
“Apalagi untuk seorang ajudan atau sopir bagi pejabat tinggi, tentunya proses profiling cukup ketat. Kalau sampai benar J pelaku pelecehan seksual terhadap keluarga Pati tentu ada perbaikan seleksi yang mendesak untuk dilakukan,” katanya.
Terpisah, Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menilai jika melihat kompetensi dan profesionalitas, komposisi tim khusus yang dibentuk oleh Kapolri itu tak perlu diragukan.
Masalahnya, kata dia, adalah kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian. “Kepercayaan masyarakat kepada kepolisian kan problemnya di integritas kepolisian sendiri. Salah satu masalah masyarakat kan tidak percaya pada kinerja kepolisian. Bahwa selama ini kerja kepolisian masih banyak yang ditutup-tutupi, tidak transparan, tidak konsisten,” katanya.
“Kalau kemudian tim ini hanya sekadar menjadi alat legitimasi pernyataan-pernyataan yang janggal di mata masyarakat, ya sama juga bohong,” imbuh dia
Bambang mengatakan dalam kasus yang melibatkan anggota, Polri seharusnya mengikuti langkah saudara tuanya, yakni TNI. Dia mencontohkan kasus sejoli Handi dan Salsabila di Nagreg, Jawa Barat yang melibatkan perwira menengah TNI. “(Kasus) Kolonel Priyanto itu TNI melakukan penanganan dengan cepat tuntas dan transparan. Harusnya belajar dari TNI,” ucapnya.
Kriminolog dari Universitas Gajah Mada (UGM) Suprapto menilai pembentukan tim khusus itu wajar jika ingin menggali sejumlah pertanyaan yang beredar di masyarakat terkait kasus tersebut.
Ia setidaknya mencatat sejumlah hal yang masih janggal dan menjadi pertanyaan, mulai dari luka sayatan di tubuh Brigadir J, tak ada peluru yang mengenai Bharada E, hingga kemungkinan adanya pihak lain dalam penembakan itu.
“Apakah (hasil tim) itu nanti valid atau tidak karena itu sesama Polri, saya kira mereka kan punya doktrin dan mereka juga punya sumpah, saya kira akan mematuhi apa yang ditugaskan oleh pimpinannya untuk kerja sebaik-baiknya,” katanya.
Di sisi lain, keterlibatan Komnas HAM dalam penyelidikan secara independen menurutnya merupakan hal yang positif. Temuan Komnas HAM, kata dia, nantinya bisa menjadi pembanding hasil yang diperoleh tim khusus yang dibentuk Kapolri.
“Atau mereka bekerja secara bersama-sama, sehingga kalau ada keraguan kita terhadap obyektivitas tim khusus itu tentunya bisa diminimalkandengan adanya pihak independen ini. Tapi memang akan jadi lebih obyektif lagi bekerja sendiri-sendiri lalu hasilnya dibandingkan,” katanya. (ber)