Dugaan Siswi Dipaksa Pakai Jilbab, Ombudsman Akui Sudah Berhasil Mengumpulkan Data

Linparnews- Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Perwakilan DI Yogyakarta hari ini, Kamis, 4 Agustus 2022, akan melanjutkan pemeriksaan terhadap guru Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Banguntapan Bantul dalam kasus siswi dipaksa pakai jilbab. Sebelumnya, Ombudsman telah memeriksa kepala sekolah serta dua orang guru Bimbingan Konseling (BK).

Ketua ORI DIY Budhi Masturi menyatakan bahwa kemarin mereka telah memperoleh kejelasan soal itu dari dua guru BK yang mereka periksa.

“Dalam klarifikasi dengan guru BK sekolah itu hari ini, kami memperoleh penjelasan untuk meluruskan informasi yang selama ini beredar,” kata Budhi Masturi usai pemeriksaan para guru di kantor ORI DIY Rabu 3 Agustus.

Budhi menyatakan sedikit demi sedikit pihaknya berhasil mengumpulkan serpihan fakta peristiwa yang membuat seorang siswi SMAN 1 Banguntapan Bantul mengalami trauma. Budhi menjelaskan, keterangan yang berhasil dikorek dalam pemeriksaan yang dibagi dua sesi itu, pertama, soal awal mula siswi itu diduga dipaksa memakai jilbab dan lantas mengunci diri di kamar mandi sekolah yang awalnya disebut terjadi tanggal 26 Juli 2022.

“Sebenarnya kejadian permintaan pemakaian atribut keagaaman oleh pihak sekolah itu sudah mulai terjadi tanggal 20 Juli,” kata Budhi, dikutip dari Tempo.co

“Jadi kejadiannya tidak berlangsung satu hari saja, bukan setelah siswi itu dipanggil di ruangan BK di hari itu, lalu di hari yang sama BK mencontohkan pemakaian jilbab kemudian siswi lari ke kamar mandi mengunci diri, bukan sehari seperti itu,” Budhi menambahkan.

Kejadian dugaan pemaksaan pertama yang dihadapi siswi itu, kata Budhi, justru sudah mulai tanggal 20 Juli.

Persisnya setelah siswi mengikuti jam mata pelajaran kimia. Tekanan pertama ini diduga sudah membuat siswi itu terkena mentalnya.

Padahal siswi itu sendiri sehari sebelumnya, yakni 19 Juli, sudah mengeluhkan ketidaknyamanan kepada sekolah untuk keharusan memakai jilbab.

“Meski sudah menyampaikan ketidaknyamanannya, pada 20 Juli justru terjadi pemanggilan siswi itu oleh BK, ” kata Budhi.

Dari ruang BK itu, siswi itu kemudian  tidak mau mengikuti kelas berikutnya, yakni mata pelajaran sosiologi. Setelah satu jam tak kunjung muncul di kelas, siswi itu ditemukan di toilet sekolah sedang menangis.

Meski tertekan, siswi itu masih masuk sekolah seperti biasa. Dalam proses selama enam hari setelah pemanggilan BK yang pertama itu, Budhi mendapati fakta, pihak sekolah terus berusaha meminta siswi ini bersedia mengenakan jilbab.

“Jadi dari tanggal 20-26 Juli itu terus ada proses-proses komunikasi konseling yang kemudian puncaknya terjadi tanggal 26 Juli, ketika siswi itu kembali depresi dan mengulang perilakunya seperti yang terjadi pada tanggal 20 Juli,” kata Budhi.

Pemanggilan siswi di ruang BK itu sendiri melibatkan dua guru BK dan  satu wali kelas, sehingga total ada tiga orang guru.

“Nah, yang jadi misteri, dari tanggal 19-26 Juli itulah kita harus mencari informasi, proses komunikasi seperti apa yang dilakukan sekolah kepada siswi itu,” kata dia.

Sebab setelah dari kejadian pemanggilan BK itu, siswi itu merasa guru-guru sekolah itu telah menjadikan kasus itu sebagai bahan pembicaraan dan terus dipertanyakan.

Terkait informasi adanya kata kata kurang pantas dari pihak BK sekolah saat meminta siswi itu memakai jilbab, koordinator BK SMA Negeri 1 Banguntapan Bantul berinisial TS membantahnya saat diperiksa.

“Kalau tadi saat kami klarifikasi soal kata kata kasar dibantah oleh koordinator BK itu, kami belum mengkonfirmasi itu lagi,” kata Budhi.

ORI DIY telah mendapatkan satu titik terang, inisiatif untuk memanggil siswi itu ke ruang BP atau BK hingga muncul tutorial pemakaian jilbab ternyata juga dilakukan koordinator guru BK sekolah itu, bukan guru BK kelas.

ORI DIY mendapati temuan bahwa kalangan guru khususnya yang diperiksa tidak tahu kalau siswi itu ternyata tertekan saat diminta memakai jilbab.

“Mereka meyakini bahwa itu adalah hal yang baik yang mereka lakukan untuk siswi itu, problemnya kan ini,” kata dia.

Guru guru yang meminta siswi itu memakai jilbab, kata Budhi, hanya merasa permintaan itu wajar. Terlebih  ekspresi siswi itu ketika dimintai seperti baik baik saja.

“Padahal ternyata di dalam hati si siswi itu ada ketertekanan dan itu terungkap dalam komunikasi orang tuanya,” kata dia.

“Guru yang meminta mengaku sempat tanya ketika siswi itu ditawari menggunakan pakaian keagamaan,  siswi itu mengatakan setuju. Tapi saat kami tanya guru itu apa jawaban siswi itu dengan tegas, ternyata datar intonasinya, ketika siswi itu mengangguk, apa anggukannya keras, ternyata anggukannya pelan,” Budhi menambahkan.

Ombudsman juga menyatakan telah menemukan penyebab terjadinya pemaksaan pemakaian jilbab itu. Budhi menyatakan tata tertib sekolah yang tak memberi pilihan seragam siswi muslim di SMA Negeri 1 Banguntapan Bantul untuk tidak berjilbab meskipun tidak ada kalimat kewajiban. Hal itu, kata Budhi, berbeda dengan ketentuan yang dibuat Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) nomor 45 tahun 2014 tentang seragam sekolah.

“Indikasinya sementara ada perbedaan dari sekolah saat menerjemahkan Permendikbud nomor 45 itu dalam aturan yang dibuat,” kata Budhi.  (ber)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *